Jejak Juang R Hari Triwijaya di Pulau Manipa

Penulis: drg. Rustan Ambo Asse, Sp.Pros
Tanggal posting: 2021-12-27

Dia dokter pertama yang bertugas di Pulau Manipa. Hari itu 1 Juni 2009 , dia menginjakkan kaki pertama kali di Kabupaten Seram Bagian Barat Maluku. Kepala Dinas Kesehatan setempat bahkan geleng-geleng kepala. Ketika dokter-dokter yang lain berlomba-lomba ingin ditempatkan di puskesmas terdekat, dia justru meminta ditempatkan di tempat paling jauh. Bahkan jika perlu di pulau atau puskesmas yang belum pernah ada dokter giginya.

Pilihan itu kemudian mengantarkan dia menjadi sosok yang mengukir sejarah di Pulau Manipa. Pulau yang konon kabarnya bagi masyarakat Maluku adalah pulau yang menyeramkan, tempat segala macam ilmu hitam dan segala macam racun. Namun dia melewati masa selama lima tahun, bertugas sebagai dokter gigi PTT di Puskesmas Tomahelu Timur tanpa kekurangan apapun. Orang-orang Pulau manipa justru sangat ramah dan baik-baik. Bahkan beragam kisah selama berada di sana menjadi inspirasi bagi banyak orang.

Tak ada yang menyangka bahwa dia serupa mata air perubahan daerah sangat terpencil di Kepulauan Maluku. Pulau Manipa yang terisolir dari dunia luar. Pasokan listrik yang hanya enam jam. Air minum yang bersumber dari kaki bukit. Tidak ada jaringan komunikasi. Bahkan untuk transportasi menuju kota Ambon adalah perahu yang paling kecil di antara perahu pulau yang lain. Itupun dengan jarak tempuh paling lama 12 hingga 14 jam perjalanan.

Lelaki itu Raden Hari Triwijaya. Dia menyelesaikan studi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin dalam rentang waktu 13 tahun, 8 tahun untuk program sarjana dan 5 tahun untuk program profesi dokter gigi. Dia berkisah bahwa dirinya beberapa kali hendak mengundurkan diri dan memilih nasib untuk kembali ke Madura, kampung halamannya. Dia tak kuasa dan iba melihat ibunya kini sendirian, sejak bapaknya meninggal pada saat masih semester dua. Namun keinginan itu akhirnya pupus berkat kesabaran dan doa ibunya tercinta. Dia bertahan hingga menyelesaikan studi pada tahun 2008. Pilihannya mengabdi di daerah sangat terpencil juga dengan harapan bahwa insentif yang dia terima kemudian hari dapat dia gunakan untuk biaya sekolah dan kuliah adik-adiknya.

Di Pulau Manipa, dia gelisah dan miris akan sulitnya mendapatkan sayur mayur. Sayuran yang dikonsumsi warga hanya daun singkong atau melinjo. Ketika dia mudik Lebaran, dia kembali ke pulau dengan membawa berbagai bibit sayuran seperti kangkung, bayam, cabai rawit, cabai keriting, tomat, terong, kacang panjang, jagung kuning dan kacang tanah. Dia menerima respon acuh dan tidak meyakinkan pada awalnya. Kepala Puskesmas Pak Abdul Rauf Samal bahkan tertawa, heran dan menganggap dokter Hari hanya bercanda.

Ketika percakapan tentang berkebun itu terdengar oleh seorang pasien pada suatu malam, dia bersyukur senyumnya mekar. Pasien tersebut bersedia untuk tanahnya dijadikan tempat berkebun, walaupun tanah tersebut cukup jauh di kaki bukit bahkan masih dipenuhi oleh semak belukar. Konon dua bulan pertama membuahkan keheranan dan sikap dingin oleh warga Pulau Manipa. Mungkin karena tidak lazim bagi mereka seorang dokter keluar masuk hutan menanam dan menyiram sayur.

Ketika masuk bulan ketiga sayur mayur yang ditanam tersebut sudah mulai berbunga dan berbuah. Hasil kebun tumpah ruah, sebagian mereka makan dan sebagian yang lain dijual oleh orang tua angkatnya, tentu dengan harga yang sangat murah. Sejak saat itu warga Pulau Manipa ikut berkebun dan menanam sayur. Bibit sayuran dapat mereka peroleh dari dokter Hari secara gratis hingga pada akhirnya asupan kebutuhan sayur mayur di pulau manipa sudah dapat terpenuhi secara mandiri. Bahkan dapat menjadi salah satu sumber pendapatan warga Pulau Manipa.

Pada lain waktu, ketika dokter Hari berkunjung ke tempat pembuatan krupuk ikan di Kabupaten Sumenep, Madura. Dia kembali mendapat inspirasi dan gagasan bahwa ikan yang melimpah di Pulau Manipa kebanyakan berakhir membusuk karena akses untuk menjualnya ke kota Ambon terlampui jauh. Dia bersemangat dan yakin bahwa ikan hasil nelayan tersebut akan lebih baik dan produktif bagi warga pulau jika dibuat menjadi krupuk ikan. Bahkan bahan dasar pembuatan krupuk ikan menggunakan tepung sagu menyesuaikan dengan Pulau Manipa yang banyak tepung sagu. Dan lagi, ide tersebut kembali menjadi pemantik bagi warga setempat. Mereka tidak lagi membuang ikan hasil tangkapan tapi diolah menjadi kerupuk ikan dan dapat dijual.

Dalam bidang pendidikan, dia menjadi motivator kepada anak-anak dan pemuda Pulau Manipa untuk berani bercita-cita. Hasilnya sudah ada beberapa orang yang sekolah di Makassar, salah satu diantara mereka sementara mengikuti Program S2 di Unhas dan seorang sementara S1 di UMM Malang.

Jejak dan pengabdian seorang Raden Hari Triwijaya sejatinya adalah miniatur banyaknya anak negeri yang berbuat melintasi zaman. Tidak seperti kebanyakan anak muda negeri ini yang bekerja dan haus publisitas. Dia bekerja dalam sunyi, tak ada postingan di media social dan memberi kabar tentang apa yang dia perbuat. Dia menciptakan ruang untuk bergerak dan berbuat bagi masyarakat. Sebagai seorang dokter gigi yang lazimnya hidup di kota-kota besar. Dia memilih jalan lain. Dia menciptakan ruang berperang sendiri untuk melawan dan memperbaiki sesuatu yang belum usai.

Suatu ketika ia dipanggil menghadap Kepala Bagian Kepegawaian Dinkes Provinsi Maluku Ibu Elsina Wattimena. Dia kaget dan mengira-gira perihal kesalahan apa yang dia perbuat sehingga dia mendapat panggilan ke kota. Dia tak pernah mengira bahwa seorang warga Pulau Manipa memberi kabar ke ibu Elsina bahwa pak dokter Hari berada terus di pulau dan sekarang beliau menanam sayuran dan menjadi contoh bagi warga di sana. Dia tak pernah menyangka, setitik inspirasi yang dia buat adalah cahaya bagi nurani banyak orang. Dia disuruh buat makalah untuk diusulkan menjadi dokter teladan. Hal yang tidak pernah diniatkan sebelumnya.

Di tempat dia bertugas dia dikenal sangat dekat dengan warga. Bahkan pernah suatu ketika tokoh pemuda dan beberapa sesepuh ingin mengajukan dia sebagai calon anggota legislatif mewakili Pulau Manipa, dia menolak. Dia sama sekali tak tergoda, dia menampik buah manis hasil kerja ikhlasnya. Dia sadar bahwa itu bukan ruang perang yang akan dia tempuh. Satu-satunya cita-cita yang dia inginkan adalah menjadi dokter gigi sepsialis bedah mulut, namun umur 35 tahun batas minimal usia pendaftaran membuatnya mundur.

Tahun 2013, lelaki itu berangkat ke Jakarta. Tubuh yang kecil dan murah senyum itu berdiri sejajar dengan para inspirator dokter teladan Nasional. Dia dinobatkan sebagai Tenaga Kesehatan Teladan di Puseksmas Tingkat Nasional oleh Kementerian Kesehatan.

Tak berhenti disitu pada tahun yang sama dalam acara Jambore Pedesaaan Sehat Kementerian Pembangunan Daerah Terpencil. Acara ini berlangsung di Kabupaten Lombok Barat NTB dia diundang khusus untuk menerima penghargaan sebagai penerima Pedesaaan Sehat Award dari Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal. Tak ada yang menyangka bahwa lelaki yang tak haus penghargaan dan puja puji itu justru mendapatkan penghargaan dari dua Kementerian sekaligus.

Setelah lima tahun menetap di tempat tugasnya di Pulau Manipa, dia melanjutkan studi spesialis Bedah Mulut dan Maksilofasial di Universitas Indonesia. Dia tak mengira bahwa umurnya yang sudah melewati 35 Tahun itu mendapat pengecualian dan mendapat rekomenadasi yang kuat dari senior-seniornya di Kampus.

Tak ada yang pernah menjangkau seberapa besar balasan kebaikan-kebaikan yang dia tanam. Urusan-urusanya kemudian menjadi mudah. Kini setelah menyelesaikan studi spesialis Bedah Mulut dan Maksilofasial di Universitas Indonesia, dia kembali mengabdi di RSUD PIRU Kabupaten Seram Bagian Barat. Dia tidak seperti oknum dokter yang serupa kacang lupa kulitnya, yang hanya memanfaatkan daerah terpencil agar mendapat rekomendasi sekolah spesialis, setelah itu kabur entah kemana. Bahkan sebaliknya beberapa teman sejawatnya yang baru selesai diajak untuk mengabdi di Maluku. Baginya penting untuk mengajak teman-teman dokter mengabdi di daerah terpencil khususnya di Kawasan Timur Indonesia yang sangat minim tenaga dokternya.

Ketika sebelum tulisan ini saya selesaikan, saya mencoba menelpon Abdul Rauf Samal mantan Kepala Puskesmas Tomahelu, sayup-sayup saya mendengar beliau bertutur tentang Dokter Hari. Katanya, dokter Hari itu orang paling sabar yang pernah ia jumpai. Selama lebih lima tahun bertugas di Pulau Manipa beliau melaksanakan tugasnya sesuai dengan prosedur yang ada, dan banyak turun penyuluhan. Inovasi-inovasi yang dibuat cukup banyak seperti membuat kebun rakyat, krupuk ikan dan anak-anak di sini yang sebelumnya hanya tamat SMU, dia motivasi untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. "Alhamdulillah akhirnya bahkan ada yang sudah selesai S2".

Petikan suara dari telepon itu saya simak dengan baik. Pak Bujang yang belakangan saya tahu adalah nama panggilan Abdul Rauf Samal menuturkan dengan perlahan dan runut. Dalam kisah dokter Hari yang membuahkan inspirasi dan kenangan yang heroik, tak ada yang tahu bahwa dibalik semua itu di sisi lain selama menjalankan tugas di sana insentif yang dia terima pun tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan kini sampai sekarang ketika dirinya kembali mengabdi ke daerah yang sama.

Tapi sosok R Hari Triwijaya mungkin adalah pribadi yang meniti jalan dengan penuh tekad, sunyi dan tak biasa. Dia adalah bagian dari semangat anak muda yang tak berhenti mencintai negerinya. Kita berharap bahwa inspirasi ini adalah pemantik bagi para pemuda untuk terus berjuang demi Indonesia tercinta.