Berbagi Kisah Sebagai Dokter di Pulau Terpencil di "Bacarita Yakobi"

Penulis: drg. Rustan Ambo Asse, Sp.Pros
Tanggal posting: 2021-11-04

Subuh yang begitu dingin dan hening, tetiba saya tergerak untuk menuliskan pengalaman Bacarita Yakobi yang diadakan (Sabtu 6 Juni 2020) via meeting room zoom.

Ketika saya diajak oleh Yayasan Komunitas Belajar (Yakobi) untuk share pengalaman hidup, saya langsung memilih topik perihal menulis, pengalaman ketika bertugas sebagai dokter gigi PTT di daerah sangat terpencil. Juga ulasan tentang kesehatan gigi sebagai episentrum kehidupan.

Ketiga aspek di atas menurut saya cukup relevan untuk disampaikan. Ini juga tentu sesuai dengan harapan Yakobi untuk mengajak setiap orang menyampaikan kisah-kisah inspiratifnya.

Tujuannya agar kisah-kisah yang tersampaikan dapat menjadi amunisi baru membangun retakan impian Indonesia yang mungkin masih sengkarut. Saya juga bermaksud untuk setidaknya dapat menebar jiwa optimisme bagi para pemuda Indonesia.

Pengalaman jadi dokter di daerah terpencil

Tak ada yang paling berkesan ketika mengabdikan diri sebagai dokter yang bertugas di tempat sangat terpencil. Kehidupan akan seperti pelangi. Penuh warna, tantangan dan beberapa dapat dikatakan sebagai sebuah tragedi.

Tepatnya di Kepualau Aru!

Saya diantar oleh seorang staff Dinas Kesehatan Kepulauan Aru. Dari kota Dobo yang kecil itu sebuah speed boath dengan mesin 40 Pk berjejer empat buah pada buritan speed. Saya bersusah payah mengangkat koper yang cukup besar, duduk di samping motoris dan tidak bisa lagi bercakap-cakap tanpa teriak ketika laju speed mulai membelah laut menuju pulau mesiang. Sebuah pulau yang harus ditempuh sekitar 4 jam dari kota dobo, ibu kota kabupaten Kepulauan Aru.

Ketika sore hari menjelang magrib, kami tiba di sebuah dermaga kayu yang hening. Hanya ombak-ombak kecil dan beberapa kepiting kurus bertengger pada tiang-tiang dermaga yang mulai berlumut.

Saya Melangkahkan kaki dan dibantu oleh abang motoris yang baik hati membawakan koper yang berat itu. Kami memasuki sebuah kampung kecil. Rumah-rumah sangat sederhana berjejer tidak beraturan memenuhi kiri kanan jalan setapak menuju puskesmas mesiang. Tempat saya akan bertugas selama enam bulan ke depan.

Di sebuah bukit agak pinggir dari pusat kampung, tiga buah gedung kecil berjejer. Gedung Puskesmas, Rumah dinas perawat yang memperihatinkan, dan rumah dinas dokter yang kecil tapi senyap dan terkunci. Dokter umum sebagai partner saya ternyata berangkat ke kota.

Staff dari Dinkes dan Motoris pamit pulang. Situasi yang membuat saya kaget karena saya pikir mereka akan bermalam dan tetap mengarahkan saya, setidaknya hingga esok hari.

Sore yang masih menampakkan matahari belum begitu mendekati bibir senja. Tapi burung-burung malam menyergap dengan suaranya yang beraroma rimba hutan belantara, kesunyian dan entah apa yang akan terjadi setelah melewati malam yang gelap dalam kamar. Tak ada suara kecuali suara jankrik dan episode kerinduan yang akan dimulai detik itu juga.

Titik balik perasaan sunyi malam pertama di pulau itu adalah jawaban dari sebuah pilihan dan risiko terhadap keinginan dokter gigi seperti saya yang ingin mencari tempat tugas paling jauh.

Niat itu sudah ada sejak dulu ketika hiruk pikuk kota Makassar memberikan kejenuhan luar biasa. Ingin rasanya merantau jauh dari keramaian.

Orang-orang dewasa pulau mesiang sebagaian besar memiliki kisah sebagai nelayan yang terdampar di perairan di Australia. Mereka ditangkap dan dipenjara di negeri tersebut karena melakukan pembatantaian ikan hiu, mengambil siripnya dan menjualnya dengam harga mahal.

Australia walaupun geram, mereka tetap mendapatkan perlakuan baik di penjara. Diberi makanan bergizi, diobati ketika sakit, berolahraga bahkan pada situasi tertentu diajak jalan-jalan keliling kota darwin.

Kisah mereka membuat saya tertegun. Betapa hidup adalah sebuah teka teki dengan pengalaman-pengalaman unik. Masyarakat di pulau terpencil ini sungguh jauh dari kota. Mereka memiliki tempat yang entah karena alasan apa harus sejauh ini.

Akses kesehatan yang minim, sekolah yang hanya memiliki satu orang guru dan harga-harga bahan pokok yang mahal.

Peristiwa lain yang patut dikenang adalah sebuah kondisi menakutkan yang saya alami. Sebagai dokter gigi saya harus melakukan ekpedisi dari beberapa Puskesmas yang dipisahkan oleh lautan bebas. Dari mesiang misalnya, saya harus ke Pulau Longgar Apara.

Saya dan seorang teman sejawat dokter gigi dari UI ikut menumpang perahu nelayan pada suatu sore yang cerah. Kami membawa tas di punggung masing-masing dengan setumpuk alat pencabutan gigi yang tidak lengkap.

Bodi perahu yang agak buncit itu dikategorikan sebagai perahu buatan orang buton, agak berbeda dengan perahu bugis yang agak ramping. setidaknya ini informasi dari nelayan yang kami tumpangi.

Perlahan bunyi mesin perahu katinting ini menderu. Baling-baling kecil itu berputar dan mendorong perahu perlahan-lahan. Tiga orang nelayan yang baik hati itu berbincang dengan hangat, mereka senang kami ikut menumpang.

Ketika perjalanan kami tempuh sekitar satu jam, tiba-tiba di ufuk barat segumpal awan hitam pekat perlahan muncul, semakin lama semakin besar memenuhi langit di tengah lautan bebas. Angin kencang tiba-tiba muncul dan perahu yang dari awal membelah ombak-ombak kecil tiba-tiba terguncang oleh hentakan gelombang air yang tidak lagi biru.

Pantulan cuaca buruk hitam berkombinasi dengan langit yang kelihatan ganas membuat saya dengan drg.Ari saling menoleh.

Tak ada suara yang keluar di antara kami. Pada titik ini saya pada suatu kesadaran yang paling terendah. Betapa kecil manusia yang kerap lupa diri ini. Perasaan ekskatologis itu menyertai membuat tubuh seolah-olah kehilangan energi dan jiwa tak lagi memikirkan tentang harapan-harapan yang akan dicapai. Sebuah perasaan yang sangat sulit saya defenisikan saat itu.

Interaksi kami yang harmonis dengan para nelayan itu lebih banyak tercipta dengan sinyal bahasa tubuh. Senyum dan tertawa bersama.

Satu hal yang membawa saya ciut ketika mereka bertiga menegak bergantian sebuah minuman jernih yang entah apa isinya. Teman saya berbisik mungkin itu adalah cap tikus, minuman alkohol lokal yang pupuler di tempat ini.

Cuaca buruk itu kami hadapi dengan diam. Tubuh kami terguncang hebat setidaknya berlangsung kisaran hampir satu jam, atau entahlah situasi tersebut kami tunggu cepat berlalu ketika itu.

Satu-satunya perasaan terhibur ketika melihat wajah nelayan itu yang tak menampakkan kekhwatiran. Entahlah karena cuaca buruk ini adalah hal biasa atau karena pengaruh minuman yang mereka teguk bergantian itu.

Peristiwa itu begitu mendalam dan tak pernah terlupakan. Walaupun ketika perahu yang kami tumpangi berhasil tiba di dermaga kampung Longgar Apara. Disambut dengan langit yang kuning keemasan kombinasi biru yang indah. Tapi langkah kami antara lunglai dan semangat menyusuri jalan setapak kampung menuju Puskesmas yang juga posisinya di pinggiran,cukup jauh dari jantung perkampungan.

***

Desa long peso Kabupaten Bulungan adalah tempat kedua usai bertugas di Aru. Long Peso adalah sebuah desa yang sangat terpencil, untuk sampai di sana satu-satunya cara adalah naik speed boath atau perahu.

Ketika dari Tanjung Selor menuju tempat itu maka yang terjadi adalah melewati banyak jiram dan arus deras. Bebatuan kecil dan besar memenuhi sungai yang panjang itu, dan ditempuh dengan waktu yang cukup lama. Dua sampai tiga jam dari kota.

Hal yang paling berkesan adalah ketika harus melakukan pelayanan puskesmas keliling ke kampung-kampung. Sungai dengan arus yang menanjak, jiram-jiram yang ganas itu hanya bisa ditaklukkan oleh motoris berpengalaman.

Untuk bisa lolos dari perjalanan sungai yang terjal dan penuh risiko, seorang motoris harus bisa mengambil keputusan secara cepat untuk meliukkan speed, menghindar dari batu-batu besar dan melakukan manuver ketika bertemu dengan pusaran air di tengah sungai.

Speed boath adalah kendaraan yang cepat dan menukik ketika melewati sungai dengan jiram sekaligus kendaraan air yang paling berisiko karena sedotan putaran atau pusaran air sungguh dapat menenggelamkan speed beserta isinya dalam hitungan detik.

***

Pulau Maratua adalah jejak yang ketiga setelah selesai dari long peso. Sebagai destinasi wisata yang indah, bertugas di pulau ini saya lalui dengan relatif biasa-biasa saja.

Saya bersyukur pernah mengabdi di tempat ini, tempat yang juga memberikan pengalaman hidup berinteraksi dengan masyarakat lokal, menikmati indahnya matahari terbit di sepanjang pantai pasir putih, duduk berleha-leha di sebuah arena berjemur di Maratua Paradis.

Hal yang saya tak pernah lupa di tempat ini adalah sebuah peristiwa yang cukup tragis dan menghebohkan masyarakat setempat.

Tahun 2010 seorang warga membawa berita hasil searching dari google, memberi kabar bahwa perairan dan pantai Philipina berpotensi tsunami.

Sebagai pulau yang berdekatan dengan negara Philipina tentu hal itu menimbulkan kepanikan. Dan seluruh masyarakat maratua pada saat ramai-ramai berkemah ke tempat yang paling tinggi yaitu sebuah bukit yang menghubungkan antara kampung Bohe Bukut dan kampung Payung-Payung.

Kepanikan telanjur terjadi, nasi sudah terlanjur menjadi bubur. Usut punya usut kebenaran berita itu dicroscek dan informasi yang terpampang di media online tersebut adalah berita lawas. Informasi itu di publish pada tahun 2008. Dan sebagaian masyarakat tetap berkemah dan belum balik ke rumah.

***

Biduk-Biduk adalah tempat yang eksotis. Pohon-pohon kelapa berjejer indah memenuhi pantai dari Tanjung perepat hingga teluk sulaiman. Hidup di kecamatan Biduk-Biduk seolah-olah berlibur setiap hari.

Saya menuju biduk ketika tahun 2011, mutasi dari pulau Maratua memberi saya kabar gembira. Karena biduk adalah target saya selanjutnya. Ketika pertama kali menuju tempat itu saya harus naik taksi atau travel, melewati banyak kubangan lumpur dan bebatuan.

Bahkan sepanjang jalan dari kecamatan Batu Putih menuju Biduk-Biduk ketika itu kanan kiri jalan masih dipenuhi semak belukar. Kubangan air dan suara-suara burung hutan yang entah darimana.

Memasuki tanjung Prepat sebagai pintu gerbang biduk, perjalanan yang jauh akan terbayar. Lelah akan sirna karena kampung yang indah itu menaikkan hormon kegembiraan. Kita pasti senang mengunjungi tempat yang indah, ikan yang banyak dan penduduk yang ramah dan baik hati.

***

Terima kasih kepada para anak muda yang ada di komunitas Yakobi.

Terima kasih kepada mereka yang baik hati dan sangat inspiratif.

Mas Fakhrizal Nasr yang membagi kisah inspiratif tentang sistem pendidikan di Finlandia.

Kita semakin sadar bahwa ada satu permasalahan besar tentang masa depan pendidikan di Indonesia. Setidaknya bagaimana sekolah tidak lagi menjadi sebuah syarat sekedar mencari pekerjaan, kaya beranak pinak dan bersaing satu sama lain.

Setidaknya gambaran pendidikan Finlandia yang egaliter memberikan peluang bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang tak memarahi. Pendidikan yang memberi motivasi bagi setiap orang.

Pendidikan yang menciptakan lingkungan yang menyenangkan, pendidikan yang mendorong kemajuan suatu bangsa dan tercerabut dari tradisi kolonialisme dan feodalisme.

Terima kasih kepada Mas Febri!

Kisahmu tentang Australia di masa pandemi covid-19 memberi informasi berharga.

Dasar penyelesaian covid 19 di Austalia adalah berdasarkan pada "human interest". Dari situ negara punya peran menyelamatkan rakyatnya apapun kepedihan yang muncul akibat dampak ekonomi dan politik.

Australia dan negara maju yang lain berhasil meraih kepercayaan masyarakatnya karena sistematika penanganan yang holistik dari human interest tust-quality care hingga benar-benar memberi rasa aman bagi warganya.

Terima kasih kepada mba Dea!

Anda menyuntikkan vitamin yang sehat untuk setiap orang berani bercita-cita hingga sekolah ke Amerika.

Anda menceritakan pengalaman bertahan di sana. Bertukar budaya dan membuat anak-anak Indonesia untuk percaya diri bahwa kita dan orang-orang Amerika adalah mahluk yang sama, yang membedakan adalah bagaimana kita dengan gagasan dan bagaimana kita dengan tindakan.

Selamat mengabdi kembali untuk Indonesia.

Terima kasih kepada Arief Balla!

Bukunya sudah saya terima "Kepada Jauh Yang Dekat". Saya sudah membacanya hingga halaman 63, dan anak saya yang kelas 4 SD akan membacanya setelah saya selesai. Seumuran ketika anda pertama kali keluar rumah dan merantau.

Ada suatu hal yang Anda lawan yang juga saya lawan, setidaknya di kampung saya dulu sering melihat golongan orang-orang yang bukan darah merah yang memperlakukan orang-orang tidak sama. Oknum ini mengira manusia dilahirkan beda, ada orang yang harus merangkak, bungkuk dan mencium kakinya.

Saya berpendapat bahwa setiap anak muda Indonesia yang sekolah di luar negeri ada baiknya menulis pengalaman mereka. Tujuannya agar tulisan itu bisa abadi sepanjang masa.

Kita tak pernah tahu bahwa kelak pada Tahun 2050, seorang anak kecil di Cebbia kecamatan Maniangpajo tempat kelahiran membaca bukunya dan tiba-tiba berani bercita-cita karena dahulu ada yang melakukan hal yang sama.

Dan Andaikan saya sebagai anak kecil itu, saya memilih dan akan melakukan hal yang jauh dari apa yang saya sudah pernah lakukan sekarang!